KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN: PERSPEKTIF REALISME TIONGKOK

Oleh :

Sri Asfarina Murti

20140510339

 

Konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS) dapat dikategorikan sebagai salah satu kasus terumit di dunia. Konflik ini melibatkan banyak aktor, baik claimants, seperti Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei—maupun non claimants, seperti ASEAN, UN, AS, dan sebagainya. (Tonnesson, 2001). Klaim ini mencakup 3,5 juta  wilayah maritim dan gugusan daratan yang mengandung kekayaan sumber daya alam serta menjadi jalur vital lalu lintas internasional (Fisher, 2016). Konflik berawal ketika klaim peta warisan 9 dash-line milik Tiongkok yang dipaparkan tahun 1950an berpotongan dengan batas ZEE atau continental shelf negara-negara lain dan menuai protes resmi dari claimants (B & Poling, 2013). Protes Malaysia dan Vietnam yang berdasar pada article 76(8) UNCLOS 1982 kepada Commission on the Continental Shelf 2009, konfrontasi Filipina di Scarborough Shoal 2012, dan juga hasil kemenangan klaim Filipina atas beberapa wilayah sengketa lewat Permanent Court of Arbitration 2013 hanya berakhir dengan jawaban keras, penolakan legalitas, bahkan tindakan offensive nyata dari Tiongkok beberapa kali (Fisher, 2016). Kebangkitan Tiongkok dalam dua dekade terakhir ini yang menjadikan Tiongkok sangat berani untuk melakukan perlawanan tersebut, termasuk untuk menguasai Laut Tiongkok Selatan. (Rajagobal, 2016). Lalu mengapa Tiongkok ingin menguasai Laut Tiongkok Selatan?

 

Asumsi Tiongkok Terkait Konflik Tiongkok

Alasan yang mendasari sikap-sikap yang ditunjukan Tiongkok dalam menghadapi konflik Laut Tiongkok Selatan dapat dianalisa dalam perspektif realisme. Ada empat asumsi ideal untuk dapat mengkategorikan sebuah negara sebagai negara realis. Sikap Tiongkok menunjukan kesesuaian dengan dua asumsi pertama sebagai analisa dasar negara realis, yaitu negara sebagai aktor tunggal dan negara adalah satu kesatuan dan dua asumsi substansial yang mendasari sikap negara realis, yaitu aktor rasional dan pengutamaan keamanan nasional sebagai kepentingan nasional (R, Viotti, & Kauppi, 1999).

Asumsi dasar negara realis menurut kaum realis tersebut yang pertama, ditunjukkan Tiongkok dalam sikapnya yang cenderung selama ini menghindari untuk mengenali organisasi atau entitas lain selain negara dalam penyelesaian masalahnya. Tiongkok lebih memilih menggunakan cara-cara bilateral (negara dengan negara), walaupun Tiongkok setuju dalam Declaration on the Conduct of Parties dengan ASEAN, tetapi itu hanya semata-mata menghindari kemungkinan campur tangan AS saja (The American Interest, 2016), dan tindak lanjut penyelesaiannya secara tetap cenderung mengutamakan hubungan dengan negara sebagai entitas pokok menurut Tiongkok. Pilihan tersebut tercermin pada sikap Tiongkok yang menolak legitimasi Permanent Court of Arbitration dalam menyelesaikan sengketa dengan Filipina, juga pada pertemuan antar presiden pada tahun 2016 dengan Filipina dan Vietnam yang meminta penyelesaian bilateral (Reuters, 2016). Kedua, sebagai satu kesatuan suara dalam setiap kebijakan. Walaupun negara sosialis, Tiongkok sebenarnya hanya dikontrol oleh satu kekuatan decision maker, yaitu Partai Komunis Tiongkok (CCP) yang bahkan telah dituliskan dalam konstitusi Tiongkok sejak 1997 (BBC News, 2012).

Asumsi ketiga, rational choice. Walaupun ekonomi Tiongkok cenderung prakmatis, namun motifnya dalam menghadapi konflik ini tetap dengan keputusan rasional. Didasari dari kebangkitan ekonomi Tiongkok sebagai “Rising China” dalam dua dekade terakhir yang bahkan sempat melampaui manufaktur AS pada 2008 dan GDP AS pada 2013-2014 (M & Morrison, 2015), Tiongkok meyakini bahwa rising power-nya saat ini dapat digunakan untuk mencapai kepentingannya memenangkan klaim atas Laut Tiongkok Selatan (Rajagobal, 2016). Menjadi keputusan yang rasional jika Tiongkok mulai berani menggalakan lagi klaimnya—yang sebenarnya sudah lama dipublikasi namun tidak pernah secara legal diperjuangkan Tiongkok—setelah mempertimbangkan akan banyak keuntungan daripada kerugian yang akan didapat dengan kebangkitan powernya yang ada sekarang.

Asumsi keempat adalah yang paling signifikan, yaitu menyangkut keamanan dan kepentingan nasional. Dapat dikatakan, dengan kebangkitan powernya—baik ekonomi maupun militernya—Tiongkok mengejar kepentingan nasionalnya, untuk menambah powernya, yang pada akhirnya untuk menjadi negara super power lagi di dunia (R, Viotti, & Kauppi, 1999). Tiongkok pernah merasakan penderitaan karena jatuh dari kejayaan masa lalu setelah Perang Opium oleh negara barat, maka dari itu menjadi wajar jika Tiongkok menjadi skeptis tentang dunia dan meyakini cara satu-satunya adalah self-help dengan terus menambah power (Chan, 1999).

Tiongkok mempertahankan klaim dan berusaha mengontrol LTS juga bukan karena tanpa alasan, ada paling tidak tiga power yang bisa didapatkan ketika Tiongkok menguasai LTS, yaitu power politik, power ekonomi, dan power militer.Power politik adalah tentang geopolitik LTS yang sangat strategis. Jika Tiongkok menguasai LTS, maka Tiongkok akan mendapatkan dominasi atas jalur perdagangan, navigasi, dan pengaruh negara-negara tetangga LTS. Geopolitik ada dua, geopolitik darat dan geopolitik laut. Tiongkok tidak pernah memfokuskan geopolitik laut sebagai kepentingan nasional primer, namun LTS ini menyediakan akses untuk Tiongkok menguasai itu (Zhao Jinjun, 2014). Dengan menguasai LTS, proyeksi power Tiongkok akan lebih besar dan meluas, terutama di kawasan Asia.

Secara power ekonomi, jika Tiongkok menguasai LTS, terdapat tujuh milyar barel minyak dan 900 triliun kubik gas alam di dalamnya.Tiongkok juga dapat menjadi multi hubungan dalam kegiatan perdagangan yang diperkirakan mencapai $5.3 triliun setiap tahunnya (Fisher, 2016), dan perikanan yang mencapai sepuluh persen dari total produk dunia (Xu, 2014). Dapat dilihat, betapa besarnya power ekonomi yang bisa dimiliki Tiongkok jika menguasai LTS. Secara power militer, LTS tidak hanya mempunyai wilayah maritim tetapi juga dengan beberapa pulau kecil yang akan sangat bermanfaat untuk dijadikan naval based, latihan militer, tempat untuk memonitor negara-negara sekeliling LTS, bahkan untuk mendirikan reaktor nuklir. Tiongkok telah memulai reklamasi dan pembangunan reaktor energi nuklir dalam beberapa tahun terakhir (Reuters, 2016). Tiongkok juga telah bekerjasama dengan Rusia untuk melakukan latihan militer bersama yang melibatkan persenjataan lengkap di area LTS (Al Jazeera, 2016).

KESIMPULAN

Dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap Tiongkok ingin menguasai LTS adalah untuk mengejar kepentingan nasional untuk akhirnya mendapatkan legitimasi atas great power Tiongkok, sebagai negara realis. Historical claim 9 dash line hanyalah alat legitimasi Tiongkok. Sikap-sikap tersebut sesuai dengan asumsi tentang negara realis. Lagipula, realisme memang berbicara tentang struggle for power.

DAFTAR PUSTAKA

B, G., & Poling. (2013). The South China Sea in Focus : Clarifying the Limits of Maritime Disputes. Plymouth, New York, Toronto, Lanham, Boulder: Center for Strategic and International Studies.

Fisher, M. (2016, July 14). Asia Pacific : The New York Times. Retrieved from The New York Times: http://www.nytimes.com/2016/07/15/world/asia/south-china-sea-dispute-arbitration-explained.html?_r=0

R, P., Viotti, M. V., & Kauppi. (1999). International Relations Theory : Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond 3rd Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Viacom Company.

Zhao, S. (2004). Chinese Foreign Policy : Pragmatism and Strategic Behavior. New York: M.E. Sharpe, Inc.