David Robie : Tolak Sejata Nuklir di Kawasan Pasifik!

Setelah ditemukannya energi atom, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Januari 1946 mulai menjadikan nuklir sebagai salah satu fokus pembahasan. Ini membuktikan bahwa PBB memiliki niatan besar demi terwujudnya perdamaian internasional. Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM bekerjasama dengan Institute of International Studies, Departemen Imu Hubungan Internasional (IIS DIHI) UGM menyelenggarakan seminar Aspiring for A Nuclear Weapons-Free-World: Global Activism in Comparative Perspective mulai Jumat, (3/11), bertempat di Ruang Seminar, Perpustakaan Pusat UGM.

Kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa, namun juga dosen-dosen, total ada 98 peserta dari dalam maupun luar UGM, antara lain UPN, UII, UMY. Ada tiga pembicara yang dihadirkan dalam seminar ini, antara lain David Robie (Jurnalis, sekaligus associate professor di Auckland University of Technology) dan Muhadi Sugiono (koordinator kampanye International Campaign Abolish Nuclear Weapons di Indonesia dan staf pengajar DIHI UGM) dan Yunizar Adiputera (pegiat kampanye International Campaign Abolish Nuclear Weapons di Indonesia dan staf pengajar DIHI UGM) selaku moderator.

David Robie menceritakan pengalamannya terlibat dalam upaya menolak senjata nuklir di kawasan Pasifik. Kawasan ini menjadi lahan tes senjata bagi negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Tak heran, cukup banyak organisasi non-profit yang bergiat di kawasan. Pada tahun 1985, puncak ketegangan antara negara adidaya dan jejaring aktivis atau organisasi anti-nuklir memuncak. Kapal berbendera Greenpeace, Rainbow Warrior, dibom saat berlayar menuju Rongelap Atoll guna menolak rencana tes senjata nuklir Prancis. Seorang fotografer Greenpeace asal Portugal, Fernando Pereira, tewas akibat insiden tersebut. David Robie ketika itu telah bertugas selama 10 minggu meliput kegiatan di dalam kapal. Selama dua dekade selanjutnya ia bersama jejaring jurnalis dan aktivis bergerak untuk mengungkap peristiwa itu. Belakangan baru diketahui bahwa pelaku adalah seorang agen rahasia Prancis yang bertindak melalui Operasi Satanic atas persetujuan Presiden Mitterand.

Selain cerita mengenai usaha pengungkapan tersebut, David Robie juga menjelaskan bahwa aktivisme global perlu menjangkau jejaring lain yang kadang tidak secara langsung berada dalam fokus kajian yang sama. Misalnya saja Greenpeace bergerak dalam isu lingkungan, tetapi ia seringkali terlibat dalam upaya perlucutan senjata nuklir karena dampak senjata nuklir berbahaya bagi lingkungan. Begitupun Greenpeace bekerjasama dengan jejaring jurnalis karena jurnalis merupakan garda depan pemberitaan di media. Selain itu, istri David Robie adalah aktivis di sebuah organisasi Women’s International League for Peace and Freedom. Organisasi ini merupakan mitra International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) dalam mengampanyekan anti-nuklir, karena efek radiasi nuklir berdampak lebih bagi perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, aktivisme global perlu dilakukan tidak hanya dengan jejaring dengan isu yang sama, tetapi lintas-kajian dan lintas-profesi.

Pembicara kedua, Muhadi Sugiono, menjelaskan upaya perlucutan senjata nuklir yang dibangun oleh ICAN selama satu dekade terakhir hingga berhasil mendorong tercapainya Traktat Pelarangan Senjata Nuklir pada Juli 2017. Selama ini masyarakat internasional telah memiliki basis legal untuk melarang senjata pemusnah-massal lain, seperti senjata biologi, senjata kimia, dan senjata bom curah. Akan tetapi, hingga tahun ini belum ada satupun kesepakatan yang melarang senjata nuklir secara total. Selama beberapa dekade, senjata ini selalu dimaknai sebagai penyedia keamanan bagi negara melalui konsep deterrence. Negara-negara akan enggan berperang karena kalkulasi untung-rugi jika perang terjadi sangat tidak menguntungkan.

Narasi ini yang dilawan oleh jejaring aktivis anti-nuklir di bawah ICAN. Senjata nuklir seharusnya dilihat sebagai sebuah ancaman bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, ia harus dilarang secara total. Sejak tahun 2013, ICAN bersama beberapa negara dan organisasi menyelenggarakan Conference on Humanitarian Consequences on Nuclear Weapons di Oslo (2013), Nayarit (2014), dan Wina (2014). Di Wina, negara-negara sepakat terhadap Humanitarian Pledge, yang menjadi dasar inisiatif untuk membahas senjata nuklir melalui kacamata kemanusiaan. Dari kacamata ini, negara non-pemilik senjata nuklir justru mampu agenda-setter. Suksesnya penandatanganan ini terjadi karena berbagai kampanye dengan melibatkan representasi negara, melibatkan publik, dan melibatkan komunitas internasional. (Muhammad Reza Amba)