School of Diplomacy : Belajar Serta Mengenal Dunia Diplomasi

School of Diplomacy (SOD) yang diselenggarakan pada hari Selasa, 21 Februari 2017 merupakan salah satu agenda yang diadakan oleh divisi Pengembangan Wacana, Korps Mahasiswa Hubungan Internasiona Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KOMAHI UMY). Tujuannya yaitu untuk menampung aspirasi mahasiswa HI yang tentunya sangat membutuhkan ilmu mengenai diplomasi.

SOD diselenggarakan di ruang sidang Fisipol UMY dengan peserta yakni masyarakat HI UMY. Dalam sesi ini hadir sebagai pembicara adalah salah seorang alumni HI UMY, yang penuh akan prestasi nasional dan internasional, Ahmad Jawwad, S. IP. Pembicara yang akrab disapa Jawwad ini mengatakan bahwa alumni universitas swasta juga tidak kalah saing dan mampu berkiprah di dunia internasional. Kemudian, Jawwad juga menyampaikan bahwa diplomasi tidak hanya semata-mata hubungan antar negara, tapi dalam kehidupan sehari-hari yang kita lakukan itu tidak lepas dari diplomasi. Dalam diplomasi kita diajarkan bagaimana berpikir kritis, tepat dalam mengambil keputusan, dan cermat dalam menyerap informasi.

Sebuah kutipan yang disampaikan oleh Mas Jawwad pada saat menyampaikan materinya yaitu, “Diplomacy acts as airport tower. Lo gagal, lo bakal membuka pintu perang. Diplomasi yang gagal adalah saat kita tidak bisa menganalisa suatu informasi dari media. Gagal untuk siapa? Untuk diri kita sendiri. Diplomasi itu bukan hanya kita sebagai representative, tapi sehari-hari kita, bagaimana kita berinteraksi dengan teman, dan lain-lain itu menurut saya adalah diplomasi,” ujar Jawwad yang meraih pengghargaan terbaik pada kategori Social Venture Challenge (SVC) dalam Harvard World Model United Nations, Seoul, Korea Selatan, 2015 silam.

School of Diplomacy ternyata tidak hanya menarik minat dari mahasiswa Indonesia, tetapi juga oleh mahasiswa exchange student dari Korea Selatan, Hyo Shin Ryu. Meskipun menurut Ryu dia kedepannya akan jauh lebih baik ketika pembicara tidak selalu menggunakan bahasa Indonesia, dikarenakan sulit untuk dimengerti. “It would be better if it were conducted in English. Because for me as an exchange student, it is quite difficult to understand when it uses Bahasa. The committee provides a person who helps translate it for me, but he also didn’t explain much. So I think, it hard to get the point.” Tutup Ryu, ketika diwawancarai setelah selesai mengikuti School of Diplomacy.